Bednesday (Chapter 1)

https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRfHieDpOMONfd-_ogQXq4Bvt6hPsZ6H4lwKk2T9QTQi4DeQaYYdRbro3Bv

Malam itu sunyi senyap, hanya ada suara jangkrik di balik semak-semak dekat jendela. Udara yang dingin dan kaca yang basah karena hujan mendukung lara untuk terus merayap di punggungku.

Sudah puluhan kali aku meringkuk seperti ini— bertopang dagu di atas kedua lututku. Namun kali ini dengan alasan yang sama sekali berbeda.

Persetan dengan sekelompok perempuan penindas di sekolahku itu. Hanya satu hal yang membayang di pikiranku. Ina.

Ia adalah sahabatku, yang biasanya meneleponku setiap jam setengah enam sore. Biasanya saat ini aku sedang tergelak dengan segala candaan dan gurauan yang ia lontarkan lewat suara seraknya dari speaker telepon.

Tak pernah terpikir oleh otakku, bahwa hari ini akan datang. Dimana aku akan berjalan sendiri di koridor sekolah, dimana aku akan merindukan suara serak seorang Ina, dan manakala aku akan kesepian lagi untuk sekian lama.

Semuanya berawal dari hari rabu minggu lalu, dimana aku tak mendapat panggilan telepon darinya pada jam setengah enam sore.

Mungkin sedang pergi keluar.

Namun ia hampir tak pernah tidak mengirimkan pesan singkat untukku barang hanya satu hari. Aku menepis segala prasangka buruk yang muncul, dan memutuskan untuk bermain Solitaire di PC-ku.

Saat Ina meneleponku nanti, aku akan memamerkan kemenanganku padanya.
Satu setengah jam berselang, aku sudah mendapat tiga kemenangan berturut-turut dan ia tak kunjung menelepon. Dengan rasa khawatir yang membuncah, aku menge-spam di ruangan chat.

Ina terbilang sering memainkan HP-nya, jadi cukup mustahil untuknya lambat membalas pesanku. Ah, kedengarannya sangat berlebihan, memang. Bahkan 50% siswa di sekolahku menyangka kami menyukai satu satu lain.

Luar biasa konyol mereka itu. Bahkan Seojoon yang sudah jelas Gay itu tak pernah sekalipun mereka usik. Omong-omong, Seojoon ialah salah satu teman dekatku. Terkadang, dia, aku, dan Ina pergi ke toko buku bersama.

Tepat disaat teriakan kemenangan keempat yang aku suarakan, teleponku berdering kencang. Aku kira itu Ina, ternyata Seojoon.

Samar-samar suara napas yang berpacu merajai indera pendengaranku.

"Ada apa, Seojoon-ah? Tenanglah,"

"... Hah ... Ina ... Ina!"

"Ina, Ina kenapa?"

"Dia sekarat!"

Saat itu juga, bahkan aku tak bisa merasakan sedikitpun kesadaran diragaku.


Bersambung.

Komentar

Postingan Populer